Nafas saya terengah, peluh menetes di
dahi. Pohon- pohon pinus menjulang menemani. Angin berhembus semilir
memaksa saya menggosok-gosok kedua telapak tangan untuk menghangatkan
diri.
Berjalan kaki menaiki bukit ini ternyata
cukup menguras tenaga. Setelah tiba di puncak Bur Gayo, mata saya
terbius oleh bukit yang memiliki pemandangan terindah untuk menikmati
Danau Lut Tawar yang berada di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.
Pemandangan danau yang berair tenang dikelilingi perbukitan tampak
sangat cantik dan penuh misteri. Pikiran saya menerawang, tersirat
keingintahuan tentang legenda ikan Depik yang hidup di danau itu, yang
dipercaya berasal dari butiran nasi yang dibuang ke danau.
Bagi saya, cerita rakyat bukan sekedar
dongeng isapan jempol untuk diacuhkan begitu saja. Cerita rakyat adalah
pembuktian adanya peradaban berusia sangat tua. Tentu saja, peradaban
suku Gayo yang konon lebih tua daripada suku Batak ini, terbukti sudah
ratusan tahun mendiami daerah sekitar Danau Lut Tawar. Sehingga, sangat
dimungkinkan cerita rakyat seperti legenda ikan Depik ini tumbuh bersama
mereka.
Ikan Depik adalah jenis ikan yang hanya
hidup di Danau Lut Tawar. Ikan bersisik mengkilat yang memiliki panjang
sekitar delapan centimeter ini biasa dikonsumsi sebagai lauk makanan.
Musim ikan Depik terjadi pada musim hujan. Sebelum musim hujan tiba,
konon ikan Depik bersembunyi di kaki gunung Bur Kelieten. Uniknya,
ketika bulan purnama, tidak ada satu pun ikan Depik yang muncul. Bagi
masyarakat sekitar, ikan Depik merupakan anugerah yang dipercaya tidak
akan habis sampai kapanpun.
“Silakan, ikan Depik keringnya satu bambu
Rp100.000“, terdengar suara ibu-ibu menawarkan dagangannya di Pasar
Takengon. Disini mereka tidak menggunakan takaran seperti umumnya, tapi
menggunakan bambu. Satu bambu berukuran sekitar satu kilogram. Selain
ikan depik, juga dijual bumbu seperti terasi yang dibungkus daun pisang
yang enak dibuat sambal untuk teman makan ikan Depik. Sepertinya memang
enak dan saya harus merasakan kelezatannya di lain kesempatan.
Siang itu saya berkeliling danau,
memanjakan mata menikmati pemandangan. Danau terlihat sepi, tidak tampak
nelayan yang mencari ikan Depik. Mereka biasanya memanen ikan Depik
seusai subuh. Menggunakan perahu kecil bergerak perlahan ke tengah danau
kemudian menarik jaring yang sudah dari semalam ditanam.
Saya berbincang dengan beberapa penduduk
asli yang saya temui, bertanya tentang legenda ikan Depik. Hampir semua
orang yang saya tanyai pernah mendengar cerita tersebut. Tapi tidak
satupun yang mengetahui detail ceritanya, sungguh sulit untuk menemukan
penduduk yang masih mengingatnya. Beruntung, akhirnya ada seorang
kenalan asli Takengon yang kebetulan sekali mengetahui sedikit detail
tentang legenda ikan Depik.
Alkisah, ada dua kampung yang hidup
berdampingan, kampung Beno Serule dan Akim Mengaya. Penghuni kedua
kampung ini memiliki kebiasaan berburu bersama di hutan Bur Kelieten.
Saat beristirahat di hutan, pemburu dari Beno Serule menanak nasi
menggunakan kuali (wajan) dan kayu Genuli Hitam sebagai pengaduk. Begitu
masak, ternyata nasi menjadi berwarna hitam. Merasa tidak layak untuk
dimakan, nasi itu mereka buang ke aliran sungai. Tiga kali mereka
mengulang menanak nasi, hasilnya tetap sama. Tiga kali mereka membuang
nasi ke aliran sungai. Sampai yang keempat, karena semakin kelaparan,
terpaksa mereka makan nasi berwarna hitam itu. Hanya pemburu dari Beno
Serule yang makan, pemburu dari Akim Mengaya tidak makan. Setelah makan
nasi itu, anehnya mereka malah berubah menjadi muda kembali.
Sepulangnya mereka, orang-orang menjadi
bingung sekaligus terpana melihat perubahan yang terjadi dengan para
pemburu itu. Berkeinginan untuk awet muda, penduduk Beno Serule
mengikuti cara para pemburu dalam menanak nasi. Berbeda dengan orang
Beno Serule yang kembali muda, orang Akim Mengaya tetap hidup seperti
biasa. Ratusan tahun berlalu, orang Beno Serule masih tetap awet muda.
Namun tampaknya kebahagiaan sudah tidak ada lagi di hati mereka karena
terlalu lama hidup. Mereka menginginkan kematian datang. Untuk menyambut
kematian, mereka mengumpulkan emas untuk dibelikan beberapa keranda
mayat di kampung Akim Mengaya. Begitu keranda sampai ke kampung Beno
Serule, tangis meledak diantara orang-orang Beno Serule. Saking
bahagianya, mereka pun meninggal.
Beberapa dari mereka yang tidak ingin
meninggal pindah ke Kampung Beno Nosar Bangil, yang sampai sekarang
kampung ini masih ada di Kecamatan Bintang, Aceh Tengah. Tiga kuali nasi
berwarna hitam yang dibuang di aliran sungai yang bermuara di danau itu
dipercaya berubah menjadi ikan Depik. Mungkin karena nasi hitam itu,
ikan Depik pun memiliki punggung berwarna hitam dan bagian kepala yang
terasa pahit jika dimakan.
Sumber: http://buzzerbeezz.wordpress.com/2012/02/04/legenda-ikan-depik/
0 komentar:
Posting Komentar